SIMKAH

Sistem Informasi Manajemen Nikah

SIMKAH

Sistem Informasi Manajemen Nikah

SIMKAH

Sistem Informasi Manajemen Nikah

SIMKAH

Sistem Informasi Manajemen Nikah

SIMKAH

Sistem Informasi Manajemen Nikah

Uhibbuka Fillah, Ya Habibi

Karena itulah, Rasulullah mampu memelihara anugerah cinta dengan sebaik-baiknya pada Khadijah binti Khuwailid radhiallahu 'anhaa

BAGI setiap pasangan yang baru menikah -pada umumnya-, malam pertama adalah malam yang sangat indah. Waktu yang panjang terasa pendek; badan capek terasa rileks; jiwa nestapa terasa bahagia. Bunga cinta indah merekah; hati dan jiwa diliputi kebahagiaan yang membuncah.

Demikian juga Pandu yang sedang asyik menikmati malam pertamanya dengan Kumala Hati Mutiara (bukan nama sebenarnya), laiknya kumbang menikmati bunga merekah.

“Mas, bagaimana caranya agar bisa jatuh cinta setiap hari, sebagaimana malam pengantin kita?”

Pandu tak menyangka mendapatkan pertanyaan itu. Memang terdengar sederhana, namun sarat makna. Kebanyakan orang mungkin hanya berhenti pada kenikmatan cinta di bulan madu. Tapi, kalau mau dikejar lebih jauh: apakah cinta yang dibina hanya berbalut nafsu sesaat sehingga membuat cinta menjadi rentan ‘berkarat’, atau berbalut kesadaran relung hati yang membuat cinta bertumbuh setiap hari?

Maka sangat wajar jika Kumala menanyakannya. Yang ia harapkan bukan cinta sementara, dan biasa. Dara cantik itu menghendaki cinta hakiki, yang mampu bertahan menuju ridha ilahi.

Sejenak ia berfikir, berusaha mengumpulkan bahan-bahan keilmuan yang selama ini didapat, untuk menyediakan jawaban yang tepat.

“Sayang! Pertanyaanmu sungguh luar biasa. Cinta saja berabad-abad masih diperdebatkan maknanya, apalagi cara untuk mempertahankannya pasti lebih sukar. Meski begitu, aku akan mencoba –sekadar mampu- untuk menjawab pertanyaan sebagus itu.”

“Kamu tahu dik, bagaimana cinta Rasulullah Muhammad Shallallu ‘Alaihi Wassallam kepada Khadijah?” tanya Pandu. “Emmmm, ndak ngerti Mas. Setahuku sih nabi sangat setia dan tak pernah menduakannya selama hidup bersama.”

“Ya, memang cinta nabi kepadanya adalah cinta setia. Namun lebih dari itu, api cinta nabi pada Khadijah senantiasa membara sampai ia tiada.”

“Dik! Suatu saat Aisyah cemburu. Gara-gara nabi sering menyebut-nyebut nama Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anhaa dan amat peduli dengan kerabatnya. Ia berseloroh, ‘Apa tidak ada wanita lain selain wanita tua yang sudah meninggal dunia itu?’

Singkat cerita nabi tersinggung, sehingga menunjukkan kelebihan-kelebihan Khadijah.
“Ada beberapa alasan penting –sesuai dengan riwayat hadits- yang bisa dijabarkan di sini: mengapa cinta nabi terhadap Khadijah masih bersemayam di dalam hati Nabi.

Pertama, cinta nabi pada Khadijah adalah karunia ilahi

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

“Sungguh Allah telah menganugrahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah.” (HR Muslim no 2435).

Ya. Cinta yang berasal dari karunia ilahi adalah cinta suci. Ia mencintai bukan karena hawa nafsu sesaat, tapi karena bimbingan dan anugerah ilahi.”

Kedua, Nabi dikaruniai anak dengan Khadijah (HR. Bukhari).

Cinta sejati tak berhenti pada romantisme semu. Apalah arti cinta, jika tidak ditujukan untuk melahirkan generasi. Maka ada istilah ‘buah cinta’. Maka sangat wajar cinta nabi masih menyala, karena bersama Khadijah mendapat buah cinta.

Ketiga, cinta nabi pada Khadijah adalah cinta misi atau cinta berdasar nilai hakiki

Ketika Aisyah mengatakan bahwa nabi telah dikaruniai ganti cinta yang lebih baik, beliau menjawab:

مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ

“Allah tidak mengganti yang lebih baik darinya. Ia beriman di saat orang-orang kafir. Membenarkanku, di saat yang lain mendustakanku. Menolongku dengan hartanya, di saat orang lain mencampakkanku.” (HR: Ahmad).

Di sini jelas posisi cinta nabi pada Khadijah. Bagi beliau Khadijah bukan semata materi, tapi nilai hakiki. Khadijah selama hidupnya mampu menjadi mitra terbaik dalam berdakwah. Sebagai istri ia bukan saja mampu menjadi pelipur lara bagi suaminya, namun ia juga mengorbankan segenap miliknya demi perjuangan dakwah. Maka tak mengherankan jika sepanjang zaman, ia selalu berkesan.

Dari kisah nabi tadi, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan agar cinta menjadi langgeng atau dengan kata lain, agar jatuh cinta setiap hari.

Pertama, dasari cinta karena, dan berdasarkan Allah ta`ala. 

Cinta karena Allah adalah cinta yang tulus mengharap ridhaNya. Cinta berdasarkan Allah adalah cinta berbingkai rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah.
Cinta Rasul dengan Khadijah langgeng, karena dibangun berdasarkan cinta tulus pada Sang Maha Agung.

Kedua, memiliki visi dan misi yang jelas

Nikah dalam Islam memiliki visi dan misi yang jelas. Nikah bukan sekadar luapan hawa nafsu, tapi adalah sunnatullah yang harus dituju.
Tujuannya jelas, di antaranya: untuk melestarikan keturunan, melaksana titah Tuhan. Dengan Khadijah Rasulullah dianugerahi keturunan, maka wajar jika cinta keduanya konstan.

Ketiga, diuji dalam kehidupan nyata

Cinta karena Allah yang dibarengi dengan visi-misi yang baik, pada akhirnya perlu pengujian. Sebagaimana Khadijah yang mampu lulus ujian cinta, dengan pengorbanan luar biasa. Ia sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya; penentram jiwa suaminya; penyokong dan pendukung terbaik suami di kala suka maupun duka. Semua itu –sekali lagi- perlu diuji. Sebagaimana emas ditempa dalam bara api, untuk memperoleh kualitas tinggi.

Intinya, jika kita ingin jatuh cinta setiap hari, maka cinta kita harus melampau materi (bukan karena: tampan/cantik, harta, keturunan meskipun ketiganya memangg penting) karena ia akan lenyap bersama waktu, tapi cinta berdasar nilai hakiki akan menjadi abadi hingga di akhirat nanti.

Khadijah selalu dikenang, karena ia adalah pejuang, penyayang, penyokong, tahan menghadapi ujian yang menghadang. Maka jangan heran jika cinta Rasul padanya selalu bertumbuh setiap hari.
Ingat kata-kata Rasul mengenai dirinya: “Aku telah dianugerahi Allah cintanya (Khadijah).”
Karena itulah, Rasulullah mampu memelihara anugerah cinta dengan sebaik-baiknya, ujar Pandu kepada sang istri.

“Mas dengan jawabanmu yang begitu berkesan dan menawan, rasanya cinta ini bertambah kuat berkelindan. Ya Allah, terima kasih telah menganugerahiku suami shalih. Uhibbuka fillah (aku mencintaimu karena Allah),” ujar Kumala.

“Uhibbuki aidhan fillah (aku mencintaimu juga karena Allah),” ujar Pandu mesrah membalasnya.

Dalam balutan cinta suci, kedua pasangan ini berkomitmen menjaga cintanya tumbuh setiap hari. Tentunya, dengan usaha prima dan pertolongan Sang Maha Pencinta. Wallahu a`lam bi al-Shawāb.*/Budi Mahmud Setiawan




Pemimpin, berkacalah pada Abu Dzar

BANDUNG (Arrahmah.com) – Menjadi pemimpin adalah hal yang sangat berat. Hingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikannya kepada seorang Abu Dzar Al Ghifari. Mengapa amanah kepemimpinan demikian sulitnya diemban, namun niscaya untuk dilakukan. Berikut kekuatan seorang pemimpin yang dapat kita pelajari dari kisah sahabat Nabi, Abu Dzar Al Ghifari, yang disarikan FPPD, Selasa (17/3/2015), dari Buku Ustadz Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah. 

“Injak kepalaku ini hai Bilal! 
Demi Allah, kumohon injaklah!” 

Abu Dzar Al-Ghiffari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya. 

“Kumohon Bilal Saudaraku,” rintihnya, “Injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliah dari jiwaku.” Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia meraa begitu lemah berhadapan dengan hawa nafsunya. Maka dengan kepala bersaput debu yang disujudkan dan wajah belepotan pasir yang disurukkan, dia mengerang lagi, “Kumohon injaklah kepalaku!” Sayang, Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca. 

Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal. Dia merasa Bilal tak mengerjakan sebuah amanah dengan utuh, bahkan seakan membuat alasan untuk membenarkan dirinya sendiri. Abu Dzar kecewa dan, sayang, dia tak dapat menahan diri. Dari lisannya terlontar kata-kata kasar. Abu Dzar sempat berteriak melengking, “Hai anak budak hitam!” 

Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegur Abu Dzar. “Engkau!” sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, “Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliah!” 

Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon. Tapi Bilal tetap tegak mematung. Dia marah, tapi juga haru. “Aku memaafkan Abu Dzar, Ya Rasulullah,” kata Bilal. “Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak.” 

Hati Abu Dzar rasanya perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita. Lalu sebuah kesadaran menyentak, “Engkau! Dalam dirimu masih terdapat jahiliah!” 

Kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia bukanlah akibat serta merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan , itu adalah dua hal yang seharusnya bersesuaian. Keberadaan yang satu tidak lantas mewujudkan yang lain. 

Orang seagung Abu Dzar tidak pernah diragukan imannya. Dia lelaki yang disebut Sang Nabi memiliki lisan paling lempang, lidah paling jujur, dan tutur paling benar di segenap kolong langit ini. Dialah sang “Ashdaqu Lahjatan”. 

Namun, Abu Dzar bukanlah orang yang tahan untuk diam dan berlapang dada terhadap kesalahan sesama. Lisan kebenarannya kadang tajam dan tidak menimbang perasaan orang. Mungkin sebab itulah, ketika dulu dia meminta agar Sang Nabi mengangkatnya menjadi salah satu petugas untuk suatu jabatan, Rasulullah bersabda kepadanya, “Hai Abu Dzar Al-Ghifari, sesungguhnya kulihat engkau seorang yang lemah!” 

Bukan lemah iman tentunya. Tapi lemah dalam memimpin dan menjaga hubungan. Menjadi pemimpin berarti harus memiliki kelapangan dada. Menjadi pemimpin menuntut kemampuan untuk tak sekedar mengatakan yang benar, melainkan juga memilih saat yang tepat, cara yang jitu, dan kalimat yang mengena. 

Kisah Abu Dzar ini tidak mengurangi terpujinya namanya di hati kita. Ia adalah salah satu bintang yang menyala penuh cahaya di langit sejarah. Kemuliaannya menjadi cermin terindah yang kilat kilaunya takkan pernah terkejar oleh sinar dari segala amal kita. Bahwa ia memiliki sisi-sisi manusiawi yang tak terelakkan, itu karena ia bukan malaikat dan kemaksuman juga tidak dijaminkan untuknya. Ia adalah apa adanya dan kita belajar banyak dari itu. Wallahua’lam bish-shawwab

(adibahasan/arrahmah.com) - See more at: http://www.arrahmah.com/kajian-islam/pemimpin-berkacalah-pada-abu-dzar.html#sthash.tF1Mjeww.dpuf

Fitur Setting dan Kirim SMS Simkah



Langkah ke 1,
  • Instal drive modem dan modem sedang terpasang di komputer
  •  Periksa Port USB yg digunakan oleh modem
Control panel > hardware and sound > device manager

Langkah ke 2, Tutup aplikasi bawaan modem
Langkah ke 3, Settinng di SIMKAH
*        Menu Kelengkapan > Setting > SMS Setting
  •  No 1, SMS Setting Klik SMS Setting
  • No 2, COM Port pilih sesuai port USB yg digunakan oleh modem
  • No 3, BaudRate pilih 115200
  •  N0 4, Model SMS pilih PDU Mode
  • No 5, Tipe Modem pilih GSM
  • Kemudian Klik Test Modem
Jika sukses maka akan muncul seperti ini:
  •  No 6, Centang integrasi dengan SMS Center
  • No 7, Server SMS diisi dengan localhost
  • No 8, File Server SMS diisi dengan lokasi folder database smssimkah.gdb Contoh : c/Program File/Simkah
  • No 9, klok OK.

SELESAI

Tonton vidio Lengkapnya di SINI

MASJID AL AHMAD SUKUTOKAN

Alamat : Desa Sukutokan
 
Luas Tanah
:
206 m2
Status Tanah
:
Wakaf
Luas Bangunan
:
100 m2
Tahun Berdiri
:
1949
Daya Tampung Jamaah
:
80
No Telp/Faks
:
82.146.982.597 / -
Fasilitas
:
Sound System, Kamar Mandi/WC, Tempat Wudhu
Kegiatan
:
Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh dan Wakaf, Menyelenggarakan Pengajian Rutin, Menyelenggarakan Dakwah Islam, Menyelenggarakan Kegiatan Hari Besar Islam, Menyelenggarakan Sholat Jumat, Menyelenggarakan Ibadah Sholat Fardhu
Jumlah Pengurus
:
3
Imam
:
1
Khatib
:
1